Beranda | Artikel
Meninggalkan Yang Haram Demi Mengharap Wajah Allah
Sabtu, 20 Desember 2014

Para ulama, dalam kitab-kitab yang membahas ushul fiqh, mendefinisikan “haram” (المحظور) dengan ungkapan:

ما يثاب على تركه ويعاقب على فعله

“Sesuatu yang ditinggalkan akan berpahala dan mendapat (ancaman) siksa jika dikerjakan”

Menarik sekali apa yang dipaparkan Syaikh ‘Abdullah al-Fauzan bahwa pahala karena meninggalkan hal yang haram ini berlaku hanya jika orang yang bersangkutan meniatkan akitifitasnya itu untuk tunduk (امتثالا) kepada Allah.

Sekiranya seseorang meninggalkan suatu keharaman karena unsur ketakutan kepada makhluk, malu, riya’, dan lainnya, orang ini akan selamat dari dosa karena dia tidak melakukan keharaman namun tidak akan mendapatkan pahala (لا أجر له) karena dalam aktifitasnya tersebut ia tidak meniatkan untuk mengharapkan wajah Allah.

Bahkan, kata syaikh, sebagian para ulama memberikan statement lebih tegas:

يأثم لأن تقديم خوف المخلوق على خوف الله محرم,وكذا الرياء

“Orang ini berdosa karena mendahulukan ketakutan kepada makhluk dibanding ketakutan kepada Allah adalah sesuatu yang diharamkan. Demikian pula riya’”.

Kami kembali membuka kitab al-Mumthi’ fiy al-Qawa’id al-Fiq-hiyyah, sebuah kitab yang merupakan salah satu panduan di kampus LIPIA Jakarta dan disusun seorang dosen di Jami’atul Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyyah, Dr. Musallam ad-Dausriy.

Didapati sebuah kaidah yang begitu berharga dalam tema ini dan tema lain yang berhubungan dengan niat seorang mukallaf:

لا ثواب إلا بالنية

“Tak ada ganjaran pahala kecuali dengan keberadaan niat.”

Memaknai kaidah ini, Dr. Musallama menjelaskan: “Tercapainya ganjaran pahala di akhirat terhadap amal apapun yang diperagakan seorang mukallaf disyaratkan keberadaan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. .”

Beliau juga menyebutkan 4 ranah yang menjadi objek pembicaraan kaidah ini. Pada ranah ketiga, beliau menyebutkan ranah yang menjadi tema catatan sederhana ini:

ترك المعاصي

“(Kaidah ini pula tercakup dalam tema) meninggalkan maksiat/keharaman.”

Kesimpulan:
  1. Meninggalkan sebuah keharaman adalah sebuah tuntutan. Selayaknya tuntutan lain dalam Islam, meninggalkan sebuah larangan/keharaman mesti diiringi dengan niat untuk mengharapkan wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan karena iming-iming tertentu atau motif-motif yang sifatnya duniawi.
  2. Orang yang meninggalkan keharaman dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah akan mendapat ganjaran kebaikan. Syaikh Sa’ad bin Nashir as-Syats-riy mengungkapkan:

    فإن من ترك شرب الخمر غير قاصد وبدون نية فإنه لا يستحق الثواب ومن تركه من أجل التقرب لله والحصول على الأجر الأخروي فإنه يستحق الثواب

    “Orang yang meninggalkan tegukan khamr tanpa sengaja meniatkan (diri untuk bertaqarrub –ed) tidak berhak mendapat pahala. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan menggapai pahala berhak mendapat pahala”.

Subhaanaka allahumma wabihamdika asyahadu alla ilaha illa anta wa astaghfiruka wa atubu ilaika

__

Referensi:

  1. Kitab Syarh al-Waraqat fiy Ushul al-Fiqh, karya syaikh ‘Abdullah bin Shaleh al-Fauzan, terbitan Dar Ibnu ‘Umar, Mesir.
  2. Kitab al-Mumthi’ fiy al-Qawa’id al-Fiq-hiyyah karya Dr. Musallam bin Muhammad ad-Dausriy, terbitan Dar Zidniy, Riyadh, Kerajaan Arab Saudi.
  3. Kitab Syarhu Kitab Qawa’id Ushul wa Mu’aqid al-Fushul karya syaikh Sa’ad bin Nashir as-Syats-riy, terbitan Kanuz Isybilia, Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia.

Jakarta Timur, Rabu, 25 Shafar 1436 H/17 Desember 2014 M

___

Penulis: Fachriy Aboe Syazwiena

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Doa Tahiyat Akhir Sesuai Sunnah, Hr Muslim 2699, Ciri Ciri Orang Beriman Menurut Al Quran, Gambar Orang Setengah Badan


Artikel asli: https://muslim.or.id/23975-meninggalkan-yang-haram-demi-mengharap-wajah-allah.html